Esposin, SOLO -- Aku adalah aku. Aku bukan dia, dan dia bukan aku. Hehehehe.....
Perkenalkan namaku Anggriawan. Aku lahir di salah satu kota, daerah istimewa di pantai selatan yang bernama Bantul sekitar 36 tahun lalu. Aku ingin bercerita tentang diriku yang sedikit unik dari dua hal yang kumiliki.
Promosi Agen BRILink Mariyati, Pahlawan Inklusi Keuangan dari Pulau Lae-lae Makassar
Keunikan pertama adalah salah satu bagian tubuhku yang katanya tidak umum jika dilihat dari jenis suku bangsa Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman luar biasa. Mulai dari keanekaragaman agama, ras, suku, golongan, makanan khas, pakaian adat, rumah adat, dan masih banyak lagi.
Suku Jawa merupakan suku yang ada dalam diriku. Pada umumnya seciri fisik, suku Jawa memiliki kulit sawo matang, rambut agak ikal, badan tidak terlalu tinggi, muka lonjong, dan mata tidak sipit.
Semua ciri fisik itu aku miliki. Tapi ada satu bagian tubuhku yang agak “unik” dan sedikit beda dengan orang Jawa pada umumnya, yaitu mata sipit. Aku memiliki mata yang sipit seperti orang keturunan Tionghoa.
Jika orang kenal denganku pertama kali, mereka pasti mengira aku keturunan Tionghoa. Padalah bapak dan ibuku asli orang Indonesia.
Suatu ketika aku pernah mencari tahu silsilah kakek buyutku, dan aku belum menemukan yang berbau keturunan Tionghoa. Semuanya adalah orang Indonesia asli.
Karena aku memiliki mata yang sipit, dari kecil aku sering dipanggil dengan sebutan “China”.
Sejak bersekolah di sekolah dasar (SD) sampai menempuh bangku perkuliahan, pasti ada saja teman yang memanggil dengan sebutan “China” tersebut.
Saat masih kecil, aku hanya tersenyum jika orang-orang memanggil seperti itu karena tidak tahu maksudnya.
Saat beranjak dewasa, ada sedikit rasa risih dan aneh jika orang-orang memanggilku dengan sebutan itu. Walau begitu, aku tidak pernah marah atau mungkin ingin membalas orang yang memanggil dengan sebutan itu.
Bahkan, aku tidak merasa rendah diri karena keunikan yang kumiliki tentang mata sipit itu. Aku tetap menjalani hidup dengan bahagia.
Saat bersekolah, aku tetap mempunyai banyak teman. Teman-temanku tidak pernah membeda-bedakan hal “unik” dalam diriku tersebut.
Hal yang kulakukan untuk “membalas” orang-orang atau teman-teman yang memanggilku dengan sebutan itu adalah dengan prestasi.
Baik dalam kegiatan sekolah di bidang akademik ataupun nonakamedik. Saat SD sampai SMA aku selalu memiliki waktu belajar sehingga dalam jenjang tersebut selalu mendapat ranking yang cukup bagus.
Dalam bidang non-akademik, saat masih SD pada 2.000 aku juga pernah menjadi runner-up pingpong dalam lomba Porseni SD.
Dengan melakukan hal-hal yang berguna tersebut, aku lebih dapat menghargai keunikan yang kumiliki dan teman-teman tidak lagi memandang ahwa aku berbeda.
Saat duduk di bangku SMA, ada salah satu teman yang memanggilku dengan sebutan “merem” karena mataku yang sipit ini. Tapi, aku tidak pernah marah dengan sebutan itu. Aku sudah terbiasa mendapat sebutan yang aneh-aneh tersebut.
Hal KeduaHal kedua yang sering kali membuatku kurang percaya diri jika bertemu orang baru yakni soal nama. Saat kecil, namaku Wiwid Anggriawan. Orang baru yang pertama berkenalan denganku selalu menyebut namaku Wiwid.
Hal itu membuat orang-orang berpikir aku adalah perempuan. Banyak orang yang kemudian menyebutku dengan mbak atau bu. Sampai aku berpikir apakah Wiwid selalu identik dengan nama perempuan?
Padalah dulu waktu SMA, aku pernah mempunyai teman dengan nama yang sama sepertiku dan dia berjenis kelamin laki-laki juga. Aku pernah bertanya pada orangtuaku arti nama Wiwid Anggriawan.
Kata mereka, wiwid itu berasal dari bahasa Jawa yang artinya pertama atau wiwitan. Ya, aku adalah anak pertama. Sedangkan “Anggriawan”, kata almarhum ibuku artinya tidak ada.
Ibuku kala itu suka dengan nama Anggriawan sehingga ia menggabungkan kata Wiwid dan Anggriawan hingga jadilah namaku sekarang.
Aku tidak pernah merasa menyesal dan marah kepada orangtuaku karena memberikan nama itu kepadaku. Aku tetap bersyukur atas pemberian nama itu dari orang tuaku.
Pesan DarikuDari dua hal tersebut, semoga kalian para pembaca bisa mengambil sisi positifnya ya. Pesan yang ingin kusampaikan ada dua.
Pesan pertama yakni kepada orang tua dan calon orang tua, pilihlah nama yang baik karena pemberian nama itu adalah bagian dari doa.
Pesan kedua, segala bentuk hal unik yang Tuhan berikan dalam hidup ini jangan pernah kalian sesali atau membuat kalian menjadi orang yang rendah diri.
Aku yakin dan percaya Tuhan memberikan hal-hal yang unik dalam diri kita agar hidup semakin bermakna dan ada fungsinya. Hal unik tersebut baik dari segi fisik, kognitif, warna kulit, bentuk rambut, atau hal lainnya.
Jalani hidup ini dengan penuh bahagia, ucapan syukur, dan selalu berserah hanya kepada-Nya. Dengan begitu, hidup kita pasti akan berguna dan bermafaat untuk semua orang yang ada di sekitar kita maupun setiap orang yang kita temui.
Penulis
Wiwid Anggriawan, Guru SMP N 11 Surakarta