Esposin, SOLO -- Nabila Najwa Haryanto, itulah namaku. Aku lahir di Desa Selokaton, Gondangrejo, Karanganyar. Aku asli keturunan suku jawa , ayahku dari Karanganyar dan ibuku dari Sragen.
Akan tetapi , saat aku masih bayi ayah dan ibuku membawaku ke Jakarta karena mereka bekerja di sana. Aku tidak mengingat tentang kehidupanku di sana. Karena waktu itu aku masih seorang balita .
Promosi Kisah Klaster Usaha Telur Asin Abinisa, Omzet Meningkat Berkat Pemberdayaan BRI
Saat umurku 2 tahun ayah dan ibuku pindah lagi ke Malang , Jawa timur. Di sinilah aku mulai mengingat tentang kejadian kejadian dihidupku. Di tempat ini adikku lahir , ia lahir saat umurku 4 tahun. Awalnya aku tak suka dengan kelahiran adikku karena aku merasa tersingkir.
Semua orang menyambut kelahirannya dengan suka cita, sedangkan aku seakan tidak dianggap waktu itu. Tetapi aku merasa sedikit kasihan dengan kondisi fisik adikku.
Karena ya, kondisi fisiknya berbeda dari kebanyakan orang. Entah disebut kelebihan atau kekurangan aku tak tahu. Semua jarinya berjumlah 24. Banyak sekali bukan? Setiap anggota kaki dan tanggan memiliki 6 jari.
Tapi aku tetap tidak suka karena setelah dia lahir, ibuku sering telat menjeputku. Aku benci hal itu , aku harus menunggu sangat lama sekali untuk pulang kerumah.
Aku kesal waktu itu, tetapi saat adikku operasi jari aku adalah orang yang menangis paling kencang karena aku khawatir. Bayangkan seorang bayi yang waktu itu kira kira ber umur 8 /12 bulan harus operasi , bergelut dengan peralatan medis . Itu operasi pertamanya operasi jari tangan.
Lalu ia dioperasi lagi saat berumur kira kira 2 /3 tahun (tidak ingat tepatnya), operasi jari kaki. Pada operasi kaki yang kedua ini ia dioperasi di Solo, RS Brayat Minulya tepatnya.
Kami sekeluarga pindah ke Gondangrejo, Karanganyar. Kami pindah saat umurku 5 tahun, satu tahun setelah adikku lahir. Di sini suasananya sangat berbeda dengan suasana di Malang. Lingkungannya, orang-orangnya, semuanya berbeda.
Aku harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarku. Hal yang membuatku syok pertama kali adalah soal pemakaian Bahasa Jawa.
Saat di Malang kami berbicara mengunakan bahasa Indonesia, namun saat di solo kami berbicara menggunakan Bahasa Jawa.
Hal yang menurutku sulit untuk dipelajari adalah belajar bahasa Jawa. Namun lama-kelamaan aku juga bisa berbahasa Jawa meski pun sedikit-sedikit. Namun ada yang lebih membuat kaget yaitu pelajarannya.
Aku pindah saat aku masih kenaikan TK kecil, jadi otomatis aku pindah ke Gondangrejo mencari sekolah untuk melanjutkan pendidikan TK. Tetapi waktu itu aku menangis saat hari pertama masuk TK di Karanganyar, pelajarannya sangat berbeda.
TK di Gondangrejo hanya belajar menyanyi , menggambar, dan kebanyakan bermain. Aku tidak suka hanya kebanyakan bermain , menurutku hal itu sangat membosankan sekali. Karena di Malang pelajarannya tidak membosankan seperti itu.
Di Malang pelajaran setiap harinya berbeda, bahkan kami bermain hanya saat olahraga dan istirahat atau saat pulang sekolah karena bosan memunggu orang tua.
Pelajarannya sangat bervariasi ada menghitung, membaca, menulis, juga menggambar dan menyanyi tapi tidak setiap saat seperti TK Karanganyar.
Bahkan kami juga diajari berbahasa inggris waktu itu, walau pun hanya basic. Setiap Sabtu di TK-ku di Malang ada pelajaran renang, sedangkan di TK baruku tidak ada.
Makanya aku menangis karena tidak suka sama pelajarannya. Sangat membosankan sekali TK di Karanganyar menurutku.
Akhirnya waktu itu aku langsung masuk Sekolah Tingkat Dasar/SD/MI. MI Sudirman Mundu, nama Sekolah Dasar pertamaku. Masuk SD saat usiaku baru 5 tahun , usia yang belia sekali bukan.
Aku takut tidak bisa mengikuti pelajarannya, tetapi ibuku selalu menyemangatiku mengatakan aku bisa. Awal – awal sekolah memang aku tak bisa mengikuti pelajarannya, tapi aku suka pelajarannya.
Pelajarannya tidak membosankan, bahkan pelajarannya sangat baru bagiku makanya aku suka. Aku belajar dengan tekun waktu itu hingga aku mendapatkan peringkat 1 di kelasku.
Bahagia sekali rasanya bisa mendapat peringkat 1 dikelas. Aku semakin giat belajar pada hari hari berikutnya mempertahankan peringkatku agar tetap berada di tingkat atas.
Hari – hari sekolahku juga semakin menyenangkan karena aku mendapat banyak teman, hal itu membuatku semakin semangat untuk pergi kesekolah.
Namun nahasnya saat usiaku 6 tahun dan adikku bereumur 2 tahun belum genap, kami kehilangan sosok pahlawan laki laki pertama dihidup kami. Ayahku pergi untuk selama – lamanya.
Penyebab kematiannya adalah tertabrak truk yang tidak bertanggung jawab pada Jumat 4 Oktober 2013, di Kalijambe, Sragen.
Kejadian tersebut membuat keluargaku sangat terpukul. Adikku menangis hingga larut malam. Pandangan ibuku sangat kosong, matanya sangat sembab. Nenekku menangis sejadi jadinya hingga kesurupan waktu itu.
Di dalam dan luar rumah banyak sekali oramg melantunkan ayat – ayat suci Al-quran. Kejadian hari itu tidak akan pernah aku lupakan. Ayahku di kuburkan keesokan harinya karena ayahku kecelakaan pada sore hari dan ia dinyatakan meninggal ditempat saat itu juga.
Setelah ayahku dikuburkan, kami mengadakan acara tahlilan untuk mendoakan beliau. Setelah hari itu aku tidak masuk sekolah selama 7 hari.
Hari ,minggu , bulan , dan tahun, rasanya berlalu begitu cepat aku bertumbuh dengan cepat begitu juga adikku. Tak terasa aku sudah berumur 8 tahun, waktu itu kenaikan kelas 3 menuju 4 SD.
Pindah ke Lampung
Aku pindah lagi ke Provinsi Lampung ketempat nenek dari pihak ibuku. Kami waktu itu pindah karena ibukku ingin mengikuti kursus bahasa mandarin. Ibuku mengikuti kursus bahasa mandarin karena ia ingin bekerja di luar negeri.
Saat tinggal di lampung aku sedikit takjub dengan pemandangan sekitar rumah nenekku. Aku melihat pohon karet dan sawit untuk pertama kalinya. Di jawa aku tidak pernah melihat pohon pohon tersebut, makanya aku sedikit takjub.
Di lingkungan sekitar rumah nenekku mereka masih berbicara menggunakan bahasa jawa, karena memang mayoritas penduduk situ bersuku jawa.
Mereka mayoritas bersuku jawa, karena dahulu sekali saat ada pemerataan penduduk di pulau jawa diantara mereka di transfer ke pulau sumatera. Nenekku adalah salah satu orang dari sekian ribu yang terkena dampak pemerataan penduduk.
Akan tetapi saat pertama kali aku bersekolah disana, aku sedikit syok karena diantara mereka ada yang berbicara menggunakan bahasa Lampung. Bahasa itu baru pertama kali aku dengar dan pengucapannya sedikit rumit menurutku. Walau pun begitu aku tetap bisa bersosialisi dan beradaptasi dengan mereka.
Kalian tahu , ternyata dalam bahasa Lampung juga ada yang membedakan dalam pengucapan. Sama seperti ngoko, krama dalam bahasa jawa, di dalam bahasa Lampung juga di bedakan menjadi 2 dialeg yakni dialeg A dan dialeg O.
Tetapi aksara Lampung sangat mudah di pelajari. Aksara lampung adalah aksara termudah menurutku. Meskipun simple tapi tetap bagus, nilai estetikanya sangat terlihat.
Aku tinggal di rumah nenekku selama satu tahun. Aku belajar banyak hal dari lingkungan sekitarku. Aku belajar nderes ( mengambil getah dari pohon karet ), belajar menanam singkong dan jagung , dan masih banyak lagi.
Dan aku baru tahu ternyata bau karet sangat menyengat tidak enak. Selama di Lampung, adikku ikut tetangga nenekku. Ia tinggal di sana, aku jarang main dengannya. Ia Juga jarang di rumah karena ikut tetangga nenekku itu.
Sebenarnya ada rasa sedikit benci dengan mereka , karena aku merasa dipisahkan oleh saudaraku satu-satunya. Tetapi aku juga senang adikku mendapat kasih sayang dari mereka.
Hingga ibuku tiba-tiba datang ke Lampung. Aku sedikit terkejut saat itu , karena posisiku pulang sekolah. Ternyata ia berpamitan, karena ia akan berangkat keluar negeri. Tetapi, ia membawa adikku untuk pergi juga.
Aku menangis saat itu ditinggal oleh adik dan ibuku. Sangat sedih rasanya, aku merasa sangat sendirian. Beberapa minggu kemudian, pembagian raport kenaikan kelas telah dilakukan.
Setelah kenaikan kelas aku pindah sekolah lagi. Masih berada di provinsi Lampung, tapi berbeda kecamatan. Aku ikut keluarga budeku, kakak kedua dari pihak ibu. Saat pertama masuk sekolah, aku harus beradaptasi lagi dengan lingkungan sekitarku. Ternyata di lingkungan sekitar budeku berbicara menggunakan bahasa ogan.
Bahasa ini baru pertama kali ku dengar, tapi rasanya sedikit tidak asing. Bahasanya seperti bahasa di film upin ipin, bahasa melayu. Bahasanya mirip mirip seperti itu, mungkin karena satu rumpun.
Teman -teman di sekolahku juga menyenangkan . Mereka berasal dari suku-suku yang berbeda. Jumlah siswa dikelasku hanya 16 orang , jadi hingga sekarang aku masih mengingat nama – nama mereka.
Terdapat 4 macam suku dari 16 siswa di kelasku . Ada Hera yang bersuku sunda. Tiara dan Ryan bersuku lampung. Di kelompok suku ogan ada Risma, Ainun, Hendi, dan Irvan. Lalu ada Liana, Nisa, Rahma, Feri, Bima, Bagas, Ahmad , Aziz, dan aku yang bersuku jawa.
Aku heran kenapa banyak sekali orang bersuku Jawa yang tinggal di luar pulau Jawa, walau pun aku tahu dulu ada perpindahan penduduk. Tapi apa sebanyak itu penduduk yang pindah ?
Ah sudahlah yang terpenting kita semua hidup dengan aman dan damai . Kita tidak bermusuhan hanya karena perbedaan suku tersebut.
Walau pertengkaran dengan teman sebaya adalah hal yang tidak bisa di hindari. Tapi pertengkaran tersebut biasanya hanya perselisihan kecil saja.
Hari berlalu begitu cepat, tinggal hitungan hari aku akan lulus dan duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Setelah lulus SD, aku akan meninggalkan Pulau Sumatera dan kembali lagi ke Pulau jawa. Kalian tahu penyebabnya apa ?
Pindah ke Tangerang
Yups, aku adalah anak nakal dan bandel. Keluarga budeku sudah angkat tangan dengan kelakuanku, sehingga aku dipindahkan. Setelah acara kelulusan aku pindah lagi ke Tangerang.
Awalnya aku akan dimasukan kedalam pondok, tetapi tidak jadi. Di Tanggerang aku tinggal bersama bulekku, adik ibuku.
Sudah terhitung aku pindah sebanyak lima kali, dari awal bercerita hingga bagian ini. Sangat melelahkan rasanya harus hidup seperti orang purba, yakni nomaden ( hidup berpindah tempat).
Aku harus beradaptasi sekali lagi di lingkungan baruku ini. Bulekku tinggal di sebuah perumahan, menurutku tempat nya nyaman, “Kelak aku ingin hidup di tempat seperti ini “ celetukku saat itu.
Karena ini di Tanggerang, Banten maka rata – rata orang daerah sini bersuku sunda. Teman-teman di sekolah baruku juga bersuku Sunda semuanya, hanya aku yang tidak.
Saat pertama kali aku berbicara dengan mereka, ada beberapa orang yang menertawakan pengucapan bahasa indonesia ku. “Ih lucu banget medok jawa.” “Coba dong ngomong lagi” . “Medok Jawa tu logatnya gini yha." dan masih banyak lagi.
Juga saat aku berbicara bahasa indonesia menngunakan kata aku dan kamu, ada dari mereka yang protes “Udah enggak usah baku banget jadi orang” , “Pakai kata lo- gue aja,” dan sebagainya.
Sejak saat itu aku berbicara menggunakan kata lo- gue dengan logat medok jawa.
Sekokahku menyenangkan , tidak ada masalah dengan sekolahku. Tempat tinggal bulekku juga sangat nyaman, rasa toleransi di sini sangat tinggi. Bahkan setiap bulan Ramadhan diadakan buka bersama satu gang di sini.
Hal lumrah bukan , tetapi yang membuat ku terkejut penduduk beragama non-islam juga ikut membantu memasak, menyiapkan buka bersama, bahkan ikut berbuka bersama juga.
Saat hari Natal tiba pun kami juga saling berbagi antar tetangga gang. Bahkan mereka juga membuat kue bersama-sama. Indah sekali bukan keberagaman disini. Tetapi aku tinggal di sini juga tidak terlalu lama hanya sekitar satu tahun saja.
Tahun kedua SMP ku akhirnya aku di masukkan kedalam pondok di daerah Demak. Aku harus beradaptasi untuk kesekian kalinya, tapi untuk pertama kalinya aku akan tinggal di sebuah bangunan dengan banyak orang di dalamnya.
Ternyata yang mondok di sini tidak hanya dari pulau jawa bahkan dari luar pulau pun ada, ada yang dari Lampung, Riau, Jambi, dan Kalimantan.
Aku belajar bahasa jawa halus/ krama inggil, walau pun sedikit sedikit. Aku juga belajar bahasa Jawa dengan banyak logat dan bahasa yang berbeda.
Banyak sebenarnya cerita ku di dalam pondok ini , tapi mana mungkin kutuang semuanya . Aku hanya akan menceritakan tentang keberagam sesuai tema.
Tiga tahun lamanya aku berada di pondok, dan aku pun lulus dari sana. Aku sempat istirahat sekokah selama satu tahun, untuk fokus pada ngaji dan kitabku. Setelah aku lulus dari sana aku pindah lagi ketempat di mana aku dilahirkan.
Gondangrejo, aku kembali lagi ke sini , karna ibuku sudah pulang. Adikku pun di boyongnya ke sini. Adikku tinggal di Bekasi setelah dibawa pergi dari Lampung waktu itu.
Akhirnya kami bersatu kembali, sebelum ibuku memutuska untuk pergi kerja kesana lagi bukan November 2023 lalu.
Aku mendaftarkan diri di SMA N Gondangrejo. Saat pertama masuk kelas aku tidak susah susah beradaptasi karena yha lingkungannya lebih mudah.
Kami bersuku sama, bahasa daerah yang digunakan juga sama, dan di kelasku tidak ada yang beragana non-islam. Jadi, semuanya sama dan tidak susah untuk membaur.
Aku senang hidup berpindah-pindah karena pengalamanku menjadi banyak. Banyak pelajaran yang aku dapat dari hidup nomaden ini.
Aku bersyukur pernah merasakannya. Semoga ceritaku dapat sedikit menginspirasi dan memberi manfaat.
Ditulis oleh
Nabila Najwa H, Murid SMA N Gondangrejo