edu
Langganan

Sekotak Bekal Makan Siang yang Mengajariku Makna Keberagaman - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Is Mugiyarti  - Espos.id Sekolah  -  Jumat, 28 Juni 2024 - 12:26 WIB

ESPOS.ID - Makan siang bersama. (Istimewa/Is Mugiyarti)

Esposin, SOLO -- Sekolah merupakan lingkup sosial yang akrab bagi siswa. Sementara, kelas menjadi "kamar" kesenangan untuk mereka mengaktualisasikan diri. Begitu pun saya sebagai guru.

Namun, mengajar pada jam ke-3 dan 4 kadang menjadi hal yang tidak saya inginkan. Jam itu membuat saya terhalang jam istirahat yang berdurasi seperempat jam.

Advertisement

Jam ketiga selalu diisi kecemasan wajah-wajah yang belum sarapan, sedang kelas sebelah sudah berduyun-duyun ke kantin.

Begitu pun jam keempat yang sering ditolak siswa karena masih makan atau masih di kantin. Berbeda dengan sekarang. Terinspirasi Hari Gizi, dimana guru membersamai siswa di kelas untuk sarapan bersama.

Saya melihat beragamnya kotak makan beserta menunya. Ada anak yang tidak suka nasi, menu karbohidrat diganti roti atau kentang.

Ada juga yang tidak suka sayur. Ada juga nasinya dalam porsi besar. Ada juga menu minimalis hanya mi goreng instan dan telur ceplok atau nugget.

Lalu saya teringat sebuah tayangan video, entah di YouTube atau di instagram. Dalam video tersebut, seorang ibu guru memperlihatkan bekal makanannya kepada para murid.

Saya terhanyut pada kata-katanya. "Masakan ibumu yang ada rasa cinta dan hasil keringat ayah yang ada doa agar tercapai cita-cita."

Kurang lebih seperti itu. Pastinya searah dengan himbauan membawa bekal makanan ke sekolah.

Advertisement

Saat itu, anak-anak makan dengan posisi duduk nonformal. Mereka duduk melingkar menghadap ke teman-temannya, membentuk kelompok, dan "Makan Bersama". Ada juga yang suka suasana lesehan.

Jadi, mereka ambil posisi di belakang kelas (dan juga depan kelas di bawah papan tulis) sambil menggelar menunya. Mungkin mereka akan berkelompok bersama bestie-nya.

Lalu saya coba pindahkan satu anak ke kelompok lain. Anak itu bangkit dan mengambil posisi duduk untuk makan bahkan berbagi, bahkan mendapat bagian dari teman yang lain.

Kelas yang saya sebut adalah XI MIPA 1. Ada 6 anak Kristiani. Dari keenam anak ini, hanya dua yang jadi teman sebangku, sedangkan empat lainnya enjoy saja dengan teman muslimnya.

Pernah saya bertanya kalau sedang pelajaran agama, bagaimana posisi duduknya. Karena mayoritas beragama Islam akan bertahan dan “menguasai” kelas, sedangkan keenam anak akan pindah ke perpustakaan untuk pelajaran agama Kristen.

Katanya, posisi dari teman yang moving class akan tetap aman terkendali. Mereka yang muslim akan setia dengan teman sebangkunya.

Tetap kosong hingga teman sebangku yang punya tempat duduk kembali lagi. Namun ada juga yang berpetualang gonta-ganti teman sebangku setiap hari tanpa terkait jam pelajaran agama.

Advertisement

Tentang kondisi ekonomi apalagi agama, tidak terlalu asyik untuk menjadi suatu masalah. Katanya, semua teman. TITIK.

Saya salut dan bangga. Salut untuk mereka dan mungkin bangga untuk diri sendiri sebagai bagian yang mengambil peran sebagai pendidik.

Terkadang saya berpikir pendidikan orang tua, masyarakat, dan sekolah dari Paud hingga kini SMA sudah sangat berhasil. Sehingga mereka menganggap keragaman yang ada di sekitarnya adalah kewajaran bahkan kebanggaan.

Dengan demikian tidak usah terlalu melebih-lebihkan persamaan apalagi menghakimi kekurangan-kelebihan, bahkan menguliti kesalahan kebenaran.

Kadang juga saya dibayangi oleh mekanisme berpikir ala mereka yang kaum alpha dengan memandang segalanya sebagai hal yang “b-saja” dan falsafah “no comment aku”. Ada interaksi sosial media yang sesimpel dengan sampah hoaks, masa puber, masalah keluarga, bullying, dan entah apa lagi.

Kumpulan masalah tersebut menjadi  faktor yang bisa merongrong semboyan turun-temurun “Bhineka Tunggal Ikka”.

Bicara tentang makanan, Indonesia bisa dikatakan serupa dengan gado-gado. Ada banyak unsur pembentuk di dalamnya. Bahkan gado-gadonya di Solo tak sama dengan gado-gado Betawi. Tentunya ada subtitusi dan elementer sesuai standar daerah.

Advertisement

Ah… jangankan lain daerah.

Gado-gado di ujung gang dengan di dekat perempatan saja punya ciri khasnya masing-masing sesuai selera dan keahlian peramunya.

Kemudian, saya ingat dengan menu soto. Sajian panas-panas yang selalu klop dengan tempe mendoan. Bagaimanapun soto hanya nasi yang “kungkum” di genangan kuah.

Namun, efek semegrak membuat sensasi semangat dan siap menjalani aktivitas. Coba googling ada berapa ragam soto di nusantara!

Semua terasa pas dengan setiap detail perbedaannya. Pernah ada yang mengonfirmasi Soto Betawi dengan Coto Makasar? Tidak! Kenapa? Buat apa? Ha ha….

Ingat soto ingat makan, ingat kantin juga. Ada sekeping mimpi saya untuk memindah kelas ke kantin.

Pelajaran sambil makan sepertinya tidak buruk. Kadang saya merasa kegiatan pelajaran saya juga “B-saja”. Mungkin membahas menu makan lebih menarik ketika memetaforakan materi pelajaran.

Advertisement

Sesama kaum “B-saja”, nyatanya dari gado-gado di kelas mereka ini, saya menemukan sayur brokoli dan slada. Dua jenis sayuran yang saya anggap high level. Prinsip mereka tentang keragaman sangat mengejutkan.

Katanya, hidup harus berkembang, homogenitas mungkin memurnikan tapi nggak gaul. Lalu teman yang lain berseloroh, “Saya mah setia. Aku ya aku, biarlah kamu apa adanya.”

Teman lainnya menimpali, “Saya tergantung sikon,” sambil tertawa. Perbedaan persektif boleh disematkan, tapi saya mengatakan inilah kekayaan hayati yang harus dikelola dengan baik dan benar.

Kembali ke kelas XI MIPA 1. Jadwal mengajar saya di kelas ini di hari berikutnya yaitu jam ke enam dan tujuh. Kembali lagi menyeberangi waktu istirahat. Kali ini tidak seperempat jam tetapi satu jam karena untuk ishoma (istirahat-sholat-makan).

Otomatis saya tidak bisa membersamai membuka bekal dan makan bersama. Karena belum azan, saya membersamai mereka sekitar lima hingga 10 menit sekadar membuat cerita.

Ternyata, ada yang memang membawa dua kotak bekal.

Bekal itu digunakan untuk sarapan dan makan siang atau separuh bekal saat istirahat pertama dan separuh berikutnya untuk istirahat kedua (seperti cepen saja ada cerbung).

Advertisement

Ada juga yang hanya dimakan selepas jam istirahat pertama dan beli nasi bungkus untuk jam kedua. Kata mereka, makan untuk jasmani, cerita untuk hati.

Anak-anakku, sehat dan bahagia selalu…

Ditulis oleh: 

Is Mugiyarti, Guru SMA Negeri 1 Mojolaban 

Advertisement
Advertisement
Ika Yuniati - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif